Artikel ini mengulas secara mendalam putusan Pengadilan Pajak India yang membatalkan koreksi Pajak Penghasilan (PPh) Badan terhadap Progress Rail Locomotive Inc. (PRL Inc.)—sebuah entitas asing—yang diklaim memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau Permanent Establishment (PE) di India, melalui anak perusahaannya, Progress Rail Innovations Private Limited (PRIPL). Dalam konteks sengketa BUT yang makin kompleks, Pengadilan Tinggi Delhi secara tegas menegaskan kembali batasan yurisdiksi pemajakan antara Source State dan Resident State, khususnya terkait penerapan Pasal 5 India-USA Double Taxation Avoidance Agreement (DTAA). Permasalahan sentral yang menjadi fokus otoritas pajak adalah mengatribusikan laba (penghasilan) dari penjualan produk impor PRL Inc. kepada Indian Railways ke PE di India, berdasarkan asumsi adanya Fixed Place PE, Service PE, dan Dependent Agent PE (DAPE). Keputusan ini menjadi preseden penting yang melindungi perusahaan multinasional (MNC) dari klaim PE yang agresif, terutama ketika entitas domestik hanya menjalankan fungsi pendukung.
Inti dari konflik ini terletak pada klasifikasi fungsi yang dilakukan oleh PRIPL. Otoritas Pajak India mengklaim bahwa kegiatan PRIPL—seperti dukungan tender, payment follow up, dan warranty support—bukanlah sekadar fungsi pendukung (preparatory or auxiliary) melainkan merupakan "virtual projection" yang menjalankan fungsi integral, sehingga menciptakan Fixed Place PE. Otoritas Pajak India juga berargumen bahwa keterlibatan expatriate senior dari PRL Inc. dalam operasional PRIPL dianggap sebagai pemberian jasa (rendering of service) yang memicu Service PE, sementara aktivitas securing orders (mengamankan pesanan) dianggap memenuhi kriteria DAPE.
Bantahan fundamental PRL Inc. berpegangan pada prinsip Pasal 5(3)(e) DTAA, yaitu pengecualian bagi kegiatan pendukung. PRL Inc. menyajikan bukti bahwa tidak ada ruang fisik di kantor PRIPL yang berada "at the disposal" (di bawah kendali) PRL Inc., dan bisnis inti (manufaktur) dilakukan di AS. Terkait DAPE, PRL Inc. membuktikan bahwa PRIPL tidak memiliki kewenangan untuk menandatangani kontrak dan tidak bekerja "hampir seluruhnya" untuk PRL Inc., yang merupakan kriteria mutlak DAPE. Lebih krusial, PRL Inc. menggarisbawahi bahwa remunerasi PRIPL telah dievaluasi dan disetujui sebagai wajar (arm's length) berdasarkan analisis Transfer Pricing (TP).
Majelis Hakim memberikan pendapat hukum yang kokoh dengan menolak ketiga klaim PE secara bertahap. Majelis menguatkan bahwa fungsi PRIPL adalah preparatory or auxiliary dan terlalu jauh (remote) dari realisasi laba penjualan lokomotif. Konsep Service PE ditolak karena adanya kesalahan penerapan Pasal DTAA (mengatur jasa dari induk ke anak, bukan sebaliknya), dan managerial oversight wajar bukan merupakan jasa kena pajak. Penolakan terhadap DAPE didasarkan pada kegagalan Otoritas Pajak India membuktikan adanya kewenangan kontrak formal pada PRIPL.
Implikasi Putusan ini sangat signifikan bagi praktik perpajakan internasional. Putusan ini menegaskan kembali bahwa prinsip arm's length dan kepatuhan TP dapat menjadi lapisan pertahanan terkuat terhadap klaim atribusi laba ke PE. Apabila fungsi pendukung telah diremunerasi penuh secara wajar, tidak ada laba tambahan (residual profits) yang dapat diatribusikan ke PE. Hasilnya, Pengadilan Tinggi Delhi membatalkan notifikasi reassessment dan memerintahkan pengembalian yurisdiksi perpajakan kepada Assessing Officer yang berwenang, memberikan kepastian hukum yang jelas mengenai pengecualian PE untuk fungsi back office.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini